"Selamat pagi bu Wenny. Perkenalkan saya Gideon Yusdianto, dan ini rekan saya Nathan. Kami dari Radio Bahtera Yudha 96.4 FM Surabaya”, kalimat perkenalan saya ini disambut dengan senyum Wenny yang saya lihat nampak segar pagi itu.
“Oh iya, maaf…saya agak sedikit kurang dengar dengan telinga kanan. Coba bapak pindah sebelah kiri saya saja. Yang kiri mendingan”, saran Wenny.
Segera saya pindah ke pinggir sebelah kiri ranjang. Rupanya akibat ledakan bom yang sangat keras Minggu pagi itu membuat gendang telinganya robek. Wenny bilang suara saya kadang seperti dekat, kadang seperti jauh, tidak stabil.
“Saya ini sampai sekarang masih sering suka lihat Evan ama Nathan loh !”, demikian kalimat pertama yang meluncur dari bibir Wenny yang masih nampak ada sedikit bekas luka yang mengering.
“Tapi air mata saya ini udah habis, nangis terus dari sejak kejadian. Lha yak apa ya, kehilangan 2 orang anak langsung eh…!” lanjut Wenny dengan logat medok khas Surabayanya.
“Bagaimana ceritanya bu hari Minggu pagi itu (13 Mei 2018) ?”, pertanyaan pertama saya ini langsung dijawab dengan detail oleh Wenny.
“Kami ini sekeluarga memang biasa misa pagi jam 7 di SMTB. Anak-anak saya biasakan bangun pagi, gak boleh telat untuk ke Gereja. Malam sebelumnya saya ingatkan anak-anak untuk segera tidur biar tidak telat ke Gereja. Waktu kami berangkat berempat diantar ke Gereja, saya, Evelyn keponakan saya, Evan dan Nathan gak ada firasat buruk apa-apa tuh. Malah kita sempat ketawa-ketawa di mobil.
Saya biasa masuk dari pintu keluar Gereja. Nah, setelah jalan beberapa meter, saya lihat ada motor dengan 2 orang berboncengan menerobos masuk. Sempat saya lihat bajunya biru yang di depan. Yang belakang gak keliatan. Tapi wajah mereka seperti masih remaja.
Cepat sekali kejadiannya, tiba-tiba ada suara ledakan keras sekali. Telinga saya seperti kebal, gak bisa dengar apa-apa. Naluri saya sebagai ibu, waktu itu saya membentangkan tangan saya di sebelah kiri dan kanan. Maksud saya pengen menggandeng Evan ama Nathan. Tapi saya terjatuh.
Saya lihat Evan penuh dengan darah. Saya panggil-panggil “Evan ! Evan !” Tapi Evan diam saja, ga ada respon. Habis hati saya ! Di situ saya merasa wah… Evan ini sudah gak ada.
Saya gak begitu jelas dengar ada teriakan “Bom…! Bom..!” Saya tarik Evan mendekat di dekat kaki saya. Saya pengen lindungi anak saya. Saya berusaha berdiri tapi kaki saya ini sakit sekali. Saya liat Nathan juga penuh dengan darah.
Saya akhirnya berteriak kepada orang yang membantu, “Cepat bawa ke RS Bedah Manyar…Cepat dibawa ! Jangan hiraukan saya !”
Yang saya lihat saat itu ada seorang satpam yang berdarah matanya, dia menggendong Nathan yang saat itu berbaju merah dan membawa tasnya.
Pikiran saya anak-anak harus cepat tertangani di Rumah Sakit terdekat. Saya lihat suasana sekitar tegang. Ada orang menelpon dengan paniknya. Ada yang tertelungkup. Ada potongan-potongan badan manusia yang berdarah.
Saya berusaha berjalan dengan tertatih-tatih karena sakit sekali kalau dibuat berjalan. Tapi saya masih kuat menuju mobil pikap yang dipakai menolong beberapa korban. Saya naik sendiri loh itu ke pikap!” jelas Wenny dengan begitu rincinya menggambarkan suasana Minggu pagi itu.
Begitulah seorang ibu yang sejati, tak peduli keselamatan diri sendiri, yang penting anak-anaknya tertolong dan cepat diobati. Wenny berharap segera bertemu dengan kedua putranya di Rumah Sakit Bedah Manyar Surabaya, seperti yang ia sarankan.
Tapi apakah akhirnya ia berjumpa dengan Evan dan Nathan di Rumah Sakit itu ?
“Sampai di RS bedah Manyar saya ini jalan ke sana kemari meski kaki saya sakit. Saya cari Evan ama Nathan koq ga ada. Saya sampai minta ke temen-temen saya, ayo tolong aku, cariin anakkku, jagaono mereka. Cariin info mengenai Evan ama Nathan
Waktu saya jalani beberapa operasi untuk mengeluarkan serpihan-serpihan di badan saya ini, sekilas koq saya lihat Nathan ditidurkan dengan posisi kakinya terangkat ke atas begitu.
Saya sudah minta ke perawat untuk bisa ketemu sama Nathan tapi mereka malah bilang “Udah…ibu harus fokus ke kesembuhan ibu dulu biar nanti bisa ketemu Evan ama Nathan”
Semua orang menghalangi saya untuk bertemu dengan anak-anak. Nathan itu kalau sakit pasti cari saya. Saya ini harus dekat dia biar dia itu cepat sembuh. Tapi saya selalu dibilang bahwa anak-anak baik-baik saja, ibu harus sembuh dulu” jelas Wenny.
Saya terus mendengarkan Wenny bercerita dengan detailnya, sampai saya gak sadar kalau ada Erry. Dia suami Wenny. Saya cuma berkenalan dengan Erry lewat kontak mata dan senyum, karena selama interview ini direkam untuk disiarkan ke radio.
Saya kembali fokus mendengarkan Wenny berkisah.
Saya kembali fokus mendengarkan Wenny berkisah.
“Orang-orang sepertinya merahasiakan keadaan dan keberadaan Evan dan Nathan. Saat saya di ruang operasi, tanpa sengaja saya dengar obrolan dokter kalau sebentar lagi ruang operasi akan dipakai untuk operasi berikutnya yaitu amputasi kaki anak kecil.
Spontan saya bertanya “Hah? Anak kecil? Pakai baju merah ya ? Mengapa harus diamputasi ?” Hati saya sudah gak enak, nampaknya ada yang dirahasiakan. Sampai akhirnya ada seorang dokter yang akhirnya memberikan penjelasan
“Begini bu, saya mau jujur bilang ke ibu ya. Iya itu betul Nathan anak ibu yang akan diamputasi”, dokter itu menjelaskan.
“Loh mengapa harus diamputasi ? Jangan diamputasi !” teriak saya. Saya itu orangnya gak bisa melihat di tubuh anak-anak saya luka sedikitpun. Saya jaga banget !”
“Loh mengapa harus diamputasi ? Jangan diamputasi !” teriak saya. Saya itu orangnya gak bisa melihat di tubuh anak-anak saya luka sedikitpun. Saya jaga banget !”
Setelah dokter menjelaskan beberapa alasan mengapa kaki Nathan harus diamputasi saya ini masih gak bisa tenang”, tutur Wenny dengan sedikit emosional.
Semua kejadian itu terjadi mengalir jam demi jam, menit demi menit dan detik demi detik yang menegangkan.
Kejadian sebenarnya saat itu Evan telah berpulang ke Surga, pada Minggu pagi itu juga. Nathan, adiknya, yang sempat berjuang hidup pun akhirnya menyusul kokonya ke Surga pada malam hari pukul 20.15 setelah diamputasi kakinya.
Penjelasan yang saya dapatkan dari beberapa situs online, karena perdarahan yang terus terjadi membuat beberapa fungsi organ menjadi turun. Akhirnya kedua putra Erry dan Wenny ini dibawa ke RS Bayangkara untuk proses pemeriksaan.
Wenny tidak tahu apa-apa kejadian ini sampai di hari ketiga meninggalnya Evan dan Nathan. Melalui Suster Wiwik, kepala sekolah SD Santa Clara dimana Nathan bersekolah, akhirnya Wenny tahu bahwa kedua putra kesayangannya yang ganteng ini telah berpulang ke Surga.
Wenny marah ke semua orang di sekitarnya, termasuk ke Erry suaminya.
Wenny marah ke semua orang di sekitarnya, termasuk ke Erry suaminya.
“Kalian semua boooohooong… ke saya. Aku benci kalian !!!” nada Wenny mengeras di kalimat ini.
“Sebenarnya saat saya habis didoakan oleh para Romo dan Suster saya bisa sedikit tenang. Dan akhirnya tertidur meski sebentar. Di situ saya melihat ada bundaran putih dan ada wajah Evan di dalamnya. Dia senyum pada saya kemudian menghilang.
Kemudian pada hari yang lain saya bermimpi lihat ada Nathan. Dia seperti membuka pintu putih yang besar, dan dibelakangnya ada cahaya putih yang terang sekali. Seolah dia berpamitan sama saya” cerita Wenny.
Sampai di sini malah saya yang tidak tahan lagi mendengar kisah Wenny. Ada genangan air mata yang sesekali sudah menetes tapi saya cepat menyekanya. Sementara Wenny nampak tegar dan kembali melanjutkan ceritanya.
“Saya ketemu ama kedua anak saya di Adi Jasa. Saya begitu ketemu, saya ciumi Evan dan Nathan. Bibir saya ini sampai nempel bener ke kulit mereka. Koq terasa dingin. Badan mereka keras. Saya gak mau kedua anak saya kedinginan di lemari es penyimpan jenasah”, lagi-lagi naluri Wenny sebagai seorang ibu keluar di saat seperti ini. Ingin memberikan yang terbaik buat kedua putranya, meski mereka telah tiada.
Hmmmm……saya menghela nafas panjang untuk sedikit melonggarkan dada yang sesak rasanya mendengar penuturan Wenny.
“Akhirnya di peti itu untuk terakhir kalinya saya melihat kedua anak saya. Saya pegang mereka, udah keras. Kemudian berdoa buat Evan dan Nathan.
Saya bilang ke Evan, “Ko…mama minta maaf ya kalau mama sering marah ke Evan karena sering minta kamu ngalah sama titi. Koko jaga titi ya di sana…
Terus saya berpaling ke Nathan, saya pegang kepalanya, saya belai, saya pegang kakinya sudah utuh. Lalu saya mendoakan dan saya bisikin. “Ti…, titi jaga koko ya di Surga sana. Papa mama baik-baik saja di sini ” tutur Wenny dengan suara yang semakin lirih.
Tak tahan lagi saya menangis mendengar cerita Wenny. Oh Tuhan, saya tahu berat rasanya ngomong dan mendoakan begitu. Beeeraaat….!
Apalagi kemudian Wenny memilih sendiri pakaian-pakaian dan mainan-mainan yang dimasukkan dalam peti sebelum peti mati ditutup. Wenny bilang setelah itu badannya lemes sekali, karena semalaman dia tidak bisa tidur dengan tenang.
Evan dan Nathan, telah dimakamkan pada hari Minggu 20 Mei 2018 di pemakaman Sukorejo Pasuruan, dengan dihantar oleh Erry dan Wenny serta kerabat dan para teman. Tapi berjuta kenangan, 3 tahun bersama Evan dan Nathan, tak akan pernah terkubur di memori Wenny sampai kapan pun.
“Saya bersyukur…di saat akhir saya bisa mengasuh anak yang Tuhan titipkan ke kami dengan baik. 3 tahun terakhir saya mundur dari pekerjaan dan menjadi ibu rumah tangga yang mengasuh kedua anak saya. Paling cuma kerja bisnis online dari rumah. Saya memang komit menjaga anak secara penuh.
Awalnya saya kecewa pada Tuhan. Mengapa ini terjadi pada kami ? Kami ini salah apa ? Mengapa kok gak orang lain saja yang mengalami ? Coba waktu itu andai telat bangun beberapa menit saja kan bisa bisa terhindar dari kejadian bom”, dengan lancarnya Wenny melanjutkan ceritanya.
“Nah bu, mumpung ibu tadi berandai-andai. Saya juga mau berandai-andai nih. Meski ini gak mungkin terjadi
Andai ibu ketemu dengan pelaku bom yang membuat Evan dan Nathan tiada, berhadapan muka dengan muka, mata memandang mata, apa yang ibu bakal bilang ke kedua orang itu ?” tanya saya dengan lugas.
Andai ibu ketemu dengan pelaku bom yang membuat Evan dan Nathan tiada, berhadapan muka dengan muka, mata memandang mata, apa yang ibu bakal bilang ke kedua orang itu ?” tanya saya dengan lugas.
“Saya mengasihi dan mengampuni mereka. Saya tidak akan menuntut mereka dengan minta hukuman setimpal. Justru dengan sikap saya seperti itu akan membuat langkah Evan dan Nathan yang sangat saya cintai jadi terhambat untuk menuju ke Surga. Saya sudah mengampuni mereka kok.
Saya jadi teringat Bunda Maria yang juga merelakan Puteranya untuk mati bagi keselamatan manusia. Maka seperti itulah juga yang saya lakukan. Saya relakan kepergian Evan dan Nathan untuk demi sebuah misi yang mulia” , jawab Wenny sesuai dengan imannya.
“Ke depan apa rencana ibu Wenny ?” tanya saya mengakhiri perbincangan siang itu.
“Setelah saya keluar dari Rumah Sakit, saya akan ke Tumpang, menenangkan diri untuk berdoa. Saya lebih mau mendekatkan diri ke Tuhan”, kata Wenny.
“Maaf bu…Gak ada rencana mau punya anak lagi atau adopsi anak bu?”, tanya saya lagi dengan keponya.
“Oh…ga, gak ada planning untuk itu. Ya sementara ini ga ada rencana seperti itu sih”, jawab Wenny dengan senyum.
Dan akhirnya dengan plong, saya akhiri perbincangan di dalam kamar Rumah Sakit Bedah Manyar bersama Wenny siang itu. Kami berpamitan pulang, sambil saya mendoakan supaya Wenny cepet pulih dengan sempurna.
Puji Tuhan, kasih dan pengampunan menjadi happy ending dari kisah Wenny ini. Saya pun juga berharap hal yang sama, happy ending untuk Surabaya, happy ending untuk Indonesia.
Selamat mengasihi dan selamat mengampuni !
Selalu terselip doa saya, jayalah Surabaya , jayalah Indonesiaku.
Bagikan ke orang lain!!
0 Response to "Cerita Jurnalis Radio Saat Wawancara Wenny Ibunda Evan dan Nathan."
Post a Comment