Whishienadaily - Pintu gerbang pengadilan dijaga ratusan personel Brimob. Para polisi wanita muda membuat pagar hidup di pintu gerbang pengadilan. Aku mencoba masuk. Seorang polisi menahan.
“Tidak boleh masuk Pak”, ujar Pak Polisi. Aku memberi penjelasan bahwa persidangan terbuka untuk umum. Tetap saja polisi itu melarang karena belum ada izin dari komandannya.
Sorakan dan teriakan Tangkap Ahok !! Tangkap Ahok !!, semakin kencang. Aku bertahan di kerumunan depan pintu gerbang pengadilan. Aparat sibuk mengatur barisan massa agar tidak menghalangi pengguna jalan. Jalan mulai macet karena massa telah menyemut.
Aku menerobos penjagaan aparat yang begitu ketat. Kali ini aku menyelip di antara massa yang ingin masuk ke dalam gedung. Aku harus masuk, itu tekadku. Suara dari megaphone polisi memberi izin 25 orang lagi pengunjung umum boleh masuk. Setelah berjuang keras akhirnya aku bisa masuk bersama dengan pengunjung lain.
Ruang sidang pengadilan menjorok jauh ke dalam. Setiap orang harus melalui pintu metal detector. Semua diperiksa ketat. Badan saya juga diperiksa seorang polisi.
Di ruang sidang kursi sudah terisi penuh. Beberapa orang terpaksa berdiri. Kursi kayu panjang cuma muat untuk empat orang. Aku minta ijin duduk di barisan depan tengah kursi nomor dua. Di depanku duduk Ruhut Sitompul dan Edi Prasetyo. Di kursi kiri depan nampak abang angkat Ahok, Andi Ananta Amir juga ikut menemani Ahok.
Di dalam ruang sidang cukup tertib. Jauh berbeda dengan di luar gedung yang riuh suara pendemo yang teriak teriak tangkap Ahok kafir. Kami menunggu hampir 40 menit. Aku melihat beberapa orang berpakaian ormas FPI, GNPF juga ada dalam ruang sidang.
Puluhan penasihat hukum Ahok terlihat mempersiapkan diri. Demikian juga Jaksa Penuntut Umum. Sekitar pukul 09.00 Wib panitera memberi tahu ketentuan dan tata tertib persidangan.
Ahok masuk ke dalam ruang sidang dari pintu sayap kiri. Ia memakai baju batik coklat lengan panjang padu celana hitam. Kami diminta berdiri karena Majelis Hakim memasuki ruangan.
Hakim membuka persidangan dengan memberi kesempatan kepada Jaksa membacakan dakwaannya. Jaksa Penuntut umum membaca dakwaan persis seperti berita selama ini. Pidato Ahok di Kepulauan Seribu dijadikan dasar sangkaan penistaan agama sesuai Pasal 156 KUHP.
Usai Jaksa membaca dakwaannya, Hakim Ketua memberi kesempatan Ahok membacakan nota keberatannya. Ahok membacakan nota keberatan pribadinya.
Awalnya Ahok berbicara dengan lancar dan jelas nota keberatannya. Ia menjelaskan sejarah perjalanan hidupnya. Ia membuka dengan kalimat pembuka cerita perjalanan karirnya sejak menjadi pengurus partai di Belitung Timur hingga menjadi seorang gubernur.
Semua proses pembentukan pribadinya dipengaruhi oleh guru gurunya di sekolah Islam Belitung Timur. Teman temannya, ulama, ayah kandung dan ayah angkatnya Andi Amir Baso yang juga adik kandung Panglima ABRI 1980an Jenderal M Yusuf.
Tiba-tiba suasana sidang terasa hening. Semua mata dan telinga ikut mendengar suara Ahok yang berubah serak dan terbata. Ahok berhenti bicara, lalu terisak menahan tangis saat menceritakan kisah ayah kandungnya yang bersumpah dengan ayah angkatnya seorang mantan Bupati Bone 1967 -1970, H. Andi Baso Amir, seorang muslim taat. Kedua keluarga ini bersumpah bahwa keluarga mereka adalah saudara sampai akhir hayat.
Ahok beberapa kali menghentikan ceritanya karena menahan tangis. Ia menarik nafas dalam mencoba menahan emosinya. Beberapa kali tisu diberikan oleh tim penasihat hukumnya. Ahok mengambil tisu itu. Mengelap air matanya.
Di luar sana teriakan suara pendemo pakai pengeras suara meneriakkan “AHOK KAFIR!! KAFIR!! TANGKAP AHOK!!”, terdengar menembus dinding ruang sidang pengadilan.
Saya yang mengambil siaran langsung juga ikut berkaca kaca menahan sedih atas ekspresi Ahok. Saya melihat banyak pengunjung juga ikut menangis. Ruhut Sitompul yang duduk di samping saya juga ikut menangis. Beberapa kali Ia menghapus air matanya dengan sapu tangan.
“Bapak Majelis Hakim Yang Mulia.. Saya tidak habis pikir bagaimana bisa tuduhan menista agama Islam ini bisa didakwakan kepada saya.
Saya seperti orang tidak tahu berterimakasih jika saya menghina agama orang tua angkat saya yang saya sayangi. Agama yang sangat saya hormati sejak saya kecil.
Bagaimana mungkin saya menista agama ayah angkat saya? Ayah angkat dan saudara saya yang sangat saya hormati?”, ucap Ahok dengan suara serak menahan tangis.
Saya melihat kesenduan dari balik badan Ahok yang memunggungi kami. Ia tidak rela dakwaan menista agama Islam ditimpakan kepadanya. Itu artinya dirinya telah mengkhianati sumpah setia saudara sehidup semati dengan keluarga angkatnya H. Andi Amir Baso yang beragama Islam taat.
Pukul 11.40 WIB, sidang ditutup. Ahok berdiri dan menyalami majelis Hakim. Ruhut Sitompul langsung berjalan mendekati Ahok. Aku berdiri memanggil Ahok. Mengharap bisa menjabat tangannya sekedar memberi penghiburan agar tetap tegar.
Ruhut menarik Ahok. Mereka berjalan cepat keluar ke arah belakang. Aku mengekor bersama abang angkat Ahok. Ahok bersama Ruhut Sitompul dan Edi Prasetyo berjalan cepat naik ke lantai dua. Mereka masuk ke sebuah ruangan ukuran 2×3. Aku ikut masuk. Ada tujuh orang di dalam ruangan itu.
Di ujung meja itu Ahok duduk. Di sampingnya Edi Prasetyo dan Ruhut Sitompul. Mereka berbicara ringan. Aku duduk di samping Ruhut Sitompul. Di depanku duduk abang angkat Ahok Andi Ananta Amir.
Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya berbaju kurung biru padu jilbab merah muda mendekati Ahok. Perempuan paruh baya itu menarik perhatian kami. Ia mendekap Ahok dari belakang. Mencium pipi Ahok sambil sesunggukan.
Ahok menutup matanya. Pelukan perempuan paruh baya itu membuat Ahok menarik nafas panjang. Ahok seakan sedang didekap ibu angkat yang sangat disayanginya.
Ibu angkat yang selalu memberi semangat dan selalu mendoakannya ketika orang-orang menghujatnya. Perempuan paruh baya itu semakin terisak. ” Huhuhuhu..Adikku ini baik sekali orangnya..huhuhuhu”, sedu perempuan baya itu sambil terus mendekap erat Ahok.
Mataku berkaca kaca melihat adegan menyayat hati ini. Aku bertanya pada abang angkat Ahok, siapa gerangan perempuan paruh baya itu. ” Dia kakak kandungku, Nana Riwayati”, jelas abang kandung Ahok.
Kakak adik berbeda iman dan suku yang disatukan oleh sumpah cinta kedua ayah mereka kini saling berpelukan dalam ruang pengadilan. Nana terus mendekap Ahok. Ia menangis tak peduli orang disekelilingnya juga terharu melihatnya.
Ahok menepuk tangan perempuan paruh baya itu. Ia menepuk tangan kakak angkatnya seolah berkata “Tidak apa apa kak…sudahlah jangan menangis lagi”. Ahok memberi tisu kepada kakak angkatnya itu.
Di depanku, aku melihat abang angkat Ahok menundukkan kepalanya. Matanya tidak mampu menahan buliran air mata yang keluar dari pelupuk matanya. Ia tidak tahan melihat kakak kandungnya Nana menangis sambil mendekap erat Ahok. Ia heran mengapa saudara saudaranya seiman menghujat Ahok sebagai penista agama Islam, padahal Ia tahu Ahok sangat menghormati agama Islam.
Aku mendekati Ahok. Aku ingin menjabat tangannya. “Pak Ahok, saya Birgaldo Sinaga, tetap tegar dan kuat ya Pak, kami mendukung Bapak. Kami yakin Pak Ahok bisa melewati cobaan ini”, ujarku sambil menepuk pundak Ahok.
“Oh iya..siapa? Birgaldo Sinaga? Ya..ya..saya ingat. Saya sering membaca tulisan saudara. Terimakasih ya.”, ujar Ahok tulus sambil menjabat erat tanganku.
Aku tertegun. Tidak menyangka Ahok mengenal namaku. Padahal aku belum pernah bicara dengannya. Beberapa kali jumpa tapi sekedar selfie.
Polisi masuk ruangan. Mengajak Ahok agar segera keluar gedung pengadilan. Kami menyalaminya. Aku masih melihat matanya sembab. Ia memeluk abang angkatnya. Andi memeluk sambil menahan tangis. Nana, kakak angkat Ahok membisikkan sesuatu. Ahok mengangguk. Mereka berpelukan.
Ahok dan polisi melangkah cepat. Puluhan personel mengawal Ahok melewati koridor. Di luar gedung, pendemo semakin bergelora meneriakkan hujatan Tangkap Ahok..Tangkap Kafir Ahok.
Aku mendekati Nana. “Bu tadi ibu menangis sambil memeluk Ahok. Ibu bilang adikku ini baik sekali”, tanyaku ingin tahu.
“Iya..Adikku Ahok itu orang paling baik. Setiap bertemu, Ahok selalu bilang harapannya ingin menolong umat muslim yang susah dan miskin. Ia selalu bilang akan memperjuangkan kebijakan menaikkan martabat orang susah dan miskin”, ujar Nana masih dalam gurat sedih. Aku mengangguk. Nana mengejar Ahok dari belakang.
Kami berpisah. Aku berjalan bersama Bu Yen seorang relawan Ahok menerobos barisan polisi.
Koh Ahok…aku kehabisan kata untuk membesarkan hatimu. Ijinkanlah aku menuangkan segelas air putih lagi untuk menyegarkan jiwamu yang sedang dihimpit oleh orang orang yang berharap agar kau jatuh tergeletak tak berdaya.
Tetaplah tegar dan kuat ya Koh Ahok… Aku berharap cukuplah air matamu hanya di persidangan perdana ini. Esok… percayalah kebenaran akan mendekap dan memelukmu…karena orang benar tidak bisa dikalahkan sekalipun sejuta orang berusaha menginjak-injak wajahmu.
Bagikan ke orang lain!!
0 Response to "Tangisan Nana Kakak Angkat Ahok yang Menyayat Hati"
Post a Comment