Kenapa Sejuta KTP "Teman Ahok" Saja Tidak Cukup?

"Teman Ahok" menggelar acara syukuran atas tercapainya batas suara minimal untuk calon independen di Markas Teman Ahok, Komplek Graha Pejaten, Jakarta Selatan, Senin (11/4/2016).

Oleh: Wisnu Nugroho

Selain ungkapan kocak cenderung sinis beberapa "Teman Ahok" di media sosial menagih janji politisi kepada Monumen Nasional (Monas), tidak cukup terdengar kegembiraan atau rencana perayaan atas segera tercapainya sejuta Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Hingga Minggu (5/6/2016) malam, "Teman Ahok" melalui webnya telah mengumpulkan 933.846 KTP untuk Ahok yang akan berpasangan dengan Heru Budi Hartono. Dibutuhkan 66.153 KTP dukungan untuk tercapainya sejuta dukungan.
Angka 933.846 KTP dukungan sebenarnya jauh dari cukup untuk syarat mencalonkan Ahok-Heru secara independen. Berdasarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, syarat minimal dukungan calon independen di Pilgub DKI Jakarta adalah 532.213 KTP dukungan.
Angka 532.213 itu muncul berdasarkan hitung-hitungan atas keputusan Mahkamah Konstiusi (MK) pada 29 September 2015.
Calon independen harus mengumpulkan KTP 10 persen di daerah dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sampai 2.000.000 orang; 8,5 persen di daerah dengan DPT antara 2.000.000 dan 6.000.000 orang; 7,5 persen di daerah denngan DPT antara 6.000.000-12.000.000 orang; dan 6.5 persen di daerah dengan DPT di atas 12.000.000 orang.
Dengan jumlah DPT DKI Jakarta 7.096.168 (Pemilu 2014), calon independen di Jakarta harus mengumpulkan 7,5 persennya yaitu 532.213 KTP dukungan. Pada pertengahan Mei 2016, "Teman Ahok" sudah melampaui angka ini. Diperkirakan, pertengahan Juli 2016 sejuta KTP dukungan akan terkumpul.
Tiga hari atau hangus
Tidak terdengarnya kegembiraan berlebih atau rencana perayaan atas capaian yang tidak mudah ini dari "Teman Ahok" bisa dipahami. Klaim sejuta KTP dukungan untuk Ahok-Heru masih memerlukan verifikasi faktual oleh petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Tahapan ini terlihat lebih sulit dari sekadar mengumpulkan sejuta KTP dukungan.
Berdasarkan RUU Pilkada yang telah disetujui DPR untuk diundangan, Jumat (3/6/2016), verifikasi faktual oleh petugas PPS dilakukan melalui metode sensus. Metode sensus itu diatur dalam Pasal 48 Ayat 3-3c. Dalam UU Pilkada sebelumnya yaitu UU No 1/2015 ataupun Perppu No 1/2014, diadopsi verifikasi administrasi.
Dengan metode sensus, petugas PPS menemui langsung pendukung. Jika petugas PPS tidak bisa menemui pendukung, tim pasangan calon harus menghadirkan pendukungnya ke kantor PPS paling lambat tiga hari. Jika tidak bisa menghadirkan, dukungan dianggap tidak memenuhi syarat. UU Pilkada baru ini juga mengatur hasil verifikasi faktual itu tidak diumumkan.
Sebenarnya, kewajiban petugas PPS menemui langsung pendukung calon independen dalam tahapan verifikasi faktual mengadopsi Pasal 23 (6) dan Pasal 24 Peraturan KPU No 9/2015 tentang Pencalonan Pilkada. KPU mensyaratkan ada verifikasi faktual PPS menemui pendukung calon perseorangan sesuai alamat mereka.
Di aturan itu, jika pendukung tidak berada di tempat saat petugas PPS berkunjung, tim pasangan calon dapat membawa mereka ke kantor PPS kapan saja hingga masa verifikasi faktual berakhir. Pada penyelenggaraan pilkada serentak Desember 2015, masa verifikasi faktual berlangsung dari 23 Juni-6 Juli 2015 alias 14 hari.
Kelonggaran waktu yang memungkinkan sejumlah kendala bisa dikelola ini tidak akan ada lagi karena UU Pilkada yang menunggu diundangkan. Jika dalam tiga hari tim pasangan calon tidak bisa menghadirkan pendukung, dukungan KTP yang sudah didapat dianggap tidak memenuhi syarat.
Hapus dukungan fiktif
Atas verifikasi faktual melalui metode sensus yang dinilai memberatkan atau bahkan mengganjal calon independen ini, Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy mengatakan sebaliknya.
Menurutnya, DPR dan pemerintah justru memperkuat mekanisme verifikasi dukungan dari Peraturan KPU menjadi UU yang lebih rinci untuk menghapus dukungan fiktif atau dukungan fiktif. UU juga lebih memastikan penyelenggara pilkada menjalankan sepenuhnya mekanisme yang ada dan mencegah multi-interpretasi.
Teman Ahok Center yang menjadi tempat pengumpulan KTP dan penjualan marchandise di Teman Ahok Fair, Gudang Sarinah, Pancoran, Minggu (29/5/2016).

Sebagai peraturan, metode sensus ini jelas bagus karena dukungan fiktif atau ganda untuk calon independen akan ketahuan.
Namun, dalam pelaksanaan, sejumlah kerepotan metode sensus ini telah terbayang. Tidak hanya pasangan calon dan pendukungnya yang akan repot tetapi juga petugas PPS sendiri.
Kita lihat Jakarta dengan contoh dukungan KTP "Teman Ahok" yang akan mencapai sejuta. Menemui sejuta orang sesuai alamat di KTP dalam kurun waktu tertentu memunculkan kerumitan tersendiri.
Dengan ciri mobilitas warganya yang tinggi, bertemu langsung pendukung sesuai alamat di KTP kerap hanya bisa dimungkinkan antara pukul 20.00-06.00. Waktu antara pukul 06.00-20.00 umumnya digunakan warga untuk bekerja dan perjalanannya.
Di luar soal waktu, masalah lain bisa lebih rumit yaitu kerapnya didapati perbedaan alamat di KTP dengan domisili aktual pendukung. Karena alasan praktis terkait surat-surat, banyak warga Jakarta tetap tercatat di alamat lama meskipun sudah berpindah tempat tinggal. 
Bagi "Teman Ahok", ketika petugas PPS tidak bisa menemui pendukung sesuai alamat di KTP, tanggung jawab lantas harus diemban. Dalam tiga hari, "Temah Ahok" harus menghadirkan pendukung ke kantor PPS. Lewat tiga hari, dukungan KTP dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Selain verifikasi faktual, keharusan verifikasi administrasi berdasarkan daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar penduduk pemilih potensial pemilihan (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri bisa menggugurkan dukungan yang sudah terkumpul untuk calon independen.
Menurut Pasal 41, hanya warga yang tercantum di DPT dan DP4 yang bisa memberi dukungan kepada calon independen. Dari pemilu-pemilu sebelumnya, pendataan DPT dan DP4 terbukti tidak akurat. Di Pemilu 2014, banyak warga yang tidak tercantum di DPT dan DP4 dan diperbolehkan memilih dengan menunjukkan KTP miliknya.
Integritas penyelenggara
Meskipun secara peraturan bisa mencegah dukungan fiktif atau ganda dengan kerumitan yang tak terbayang di Jakarta misalnya, aturan baru ini berhadapan dengan tantangan lain yaitu integritas penyelenggara pemilu.
Kekuasaan besar di pihak penyelenggara pemilu tanpa disertai integritas berpotensi dipakai untuk kepentingan politik. Tahapan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual bisa jadi pintu masuk pelanggaran kode etik misallnya menggagalkan atau meloloskan calon independen.
Mengutip data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), sejak 2012 sampai 2016, sebanyak 360 anggota KPUD diberhentikan karena melanggar kode etik. Sedikitnya ada 2.000 anggota KPUD mendapat peringatan karena pelanggaran kode etik.
Di samping data DKPP, dalam perjalanan pemilu sejak reformasi, kita bisa menyaksikan afiliasi politik penyelenggara pemilu selepas tugasnya. Di tingkat pusat untuk menyebut beberapa ada Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, dan Andi Nurpati. Di tingkat daerah lebih banyak lagi. Di Jakarta misalnya ada M Taufik dan A Riza Patria. 
Memang tidak bisa disimpulkan serta merta afiliasi itu dengan sikapnya saat masih menjadi penyelenggara pemilu. Namun, afiliasi itu membuat kewaspadaan perlu ditingkatkan mengingat besarnya kekuasaan dan kemungkinan adanya konflik kepentingan di antara para penyelenggara pemilu.
Di tengah makin rumitnya UU Pilkada yang disetujui DPR untuk diundangkan, harapan kini diletakkan pada penyelenggara pemilu untuk membuatnya sederhana dan tetap menjaga semangat berpolitik warga yang tumbuh di beberapa daerah. 
Jika harapan ini tidak bisa dipenuhi, partisipasi warga berpolitik yang mulai nyata di beberapa pilkada dengan calon independennya bisa surut dan padam. Dalam situasi ini, partai politik yang selama ini ditanggapi secara apatis penuh ketidakpercayaan oleh warga mungkin akan lebih berperan. 
Jangan-jangan, situasi seperti ini yang memang hendak diciptakan dengan rumitnya aturan. Jika ini terjadi, sejuta KTP dukungan bisa dikesampingkan dan untuk pemenuhan janji-janji politisi, Monas akan tetap perawan. 
Keterbukaan Ahok kepada sejumlah partai politik bisa dipahami sebagai cadangan jika kegigihan "Teman Ahok" kandas di tengah jalan. Kekuasaan di Jakarta terlihat sekali hendak diperpanjang.
Bagikan ke orang lain!!

0 Response to "Kenapa Sejuta KTP "Teman Ahok" Saja Tidak Cukup?"

Post a Comment